Selasa, 24 Maret 2009

Hukum Perburuhan Tak Pernah Netral

Oleh: Fransisca Ria Susanti

Jakarta - Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebut-sebut terlalu berpihak kepada buruh dan kurang menguntungkan posisi pengusaha sehingga muncul usulan revisi terhadap UU ini dengan argumen fleksibilitas dan investasi. Namun hanya sedikit orang yang tahu, hukum perburuhan sendiri dibentuk sebagai upaya keberpihakan terhadap buruh dalam relasi kerja yang tidak pernah sejajar. Hal ini dikemukakan Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Surya Tjandra dalam diskusi publik yang digelar di Jakarta, Rabu (3/5). Hadir sebagai pembicara lain dalam diskusi adalah Wakil Presiden Australian Council of Trade Unions (ACTU) Helen Creed, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso, dan Koordinator Forum Pendampingan Buruh Nasional (FPBN) Liest Pranowo. Surya Tjandra mengatakan awal kemunculan hukum perburuhan memang didasarkan pada asumsi bahwa relasi atau hubungan kerja antara buruh-majikan tidak pernah sejajar. Ada pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Untuk itu, diupayakan sebuah hukum yang memfasilitasi representasi dan pemberdayaan dari kelompok-kelompok yang tersubordinasi. “Karena itu, tidak pernah ada netralitas dalam hukum perburuhan,” ujarnya. Ia mengutip catatan Karl Klare, profesor hukum perburuhan dari Amerika Serikat, bahwa kesadaran untuk mengoreksi dominasi pemilik modal memberi hukum perburuhan sisi yang kritis. Karena itu, menurutnya, pelibatan akademis dalam pengkajian UU No 13/2003 harus didasari dengan asumsi seperti ini. Jika tidak, hukum perburuhan dikhawatirkan bukan lagi digunakan untuk “membela” buruh dalam relasi kerja yang memang tidak pernah sejajar, tapi hanya menjadikan buruh sebagai komoditas.Sementara itu, Bambang Wirahyoso melihat bahwa gerakan buruh—dalam sejarahnya—selalu bersifat politis. Untuk itu, pernyataan sejumlah kalangan agar gerakan buruh bebas dari politik cukup aneh. “Gerakan buruh melawan kebijakan pemerintah itu pasti politik,” ujarnya. Liest Pranowo menilai UU Ketenagakerjaan yang ada saat ini cukup akomodatif terhadap jaminan dan perlindungan buruh. Karena itu, ia mengkhawatirkan revisi terhadap UU ini justru memperburuk kondisi buruh. Kekhawatiran ini, menurutnya, muncul setelah White Paper Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2004 jelas-jelas menyebutkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan bisa dilakukan dengan pemangkasan upah buruh atau PHK sepihak. Data yang dihimpun FPBN menunjukkan bahwa buruh di sejumlah perusahaan telah mengalami perubahan status dari tetap menjadi kontrak. “Justru sistem kerja kontrak yang memperbesar kemiskinan,” katanya.Dukungan ACTUDalam kesempatan sama, Helen Creed menyampaikan solidaritas dari gerakan buruh Australia kepada gerakan buruh Indonesia. Ia mengatakan gerakan buruh Australia kini juga sedang mencermati kebijakan pemerintah soal perburuhan yang dinilai terlalu berpihak kepada pengusaha besar. “Alasan yang dikemukakan pemerintah Australia dan Indonesia sama, bahwa deregulasi itu demi alasan menarik investasi,” ujarnya. Sementara itu, perubahan hukum perburuhan ini semakin memiskinkan buruh, dengan adanya PHK dan pemangkasan upah.

Copyright © Sinar Harapan 2003

Senin, 23 Maret 2009

Hukum Perburuhan

undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah sebuah undang-undang yang dibuat untuk melindungi para pekerja di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari judul UU tersebut, akan tetapi pada prakteknya UU tersebut tidak menjamin hak pekerja. Kita ambil contoh dalam proses PHK, UU tersebut justru mempersulit pekerja atas hak yang seharusnya diterima karena harus melalui proses persidangan yang panjang. Batas waktu yang diberikan UU No. 2 Tahun 2004 untuk menyelesaikan suatu perselisihan sulit dipraktekkan, sehingga pekerja yang menggugat haknya melalui PHI akan menunggu lama untuk mendapatkannya.